KAJIAN BUDAYA : Mengenal Lebih Dekat La Galigo Sastra Terpanjang Dari Tanah Bigis


Naskah La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa masa selama 6 generasi turun temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pulau-pulau di sekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke-20 masehi naskah La Galigo secara luas diyakini oleh masyarakat Bugis sebagai suatu kitab sakral dan tidak boleh dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu. Banyak orang Bugis masih meyakini bahwa peristiwa yang diceritakan dalam naskah tersebut benar-benar terjadi pada suatu saat di masa lalu, ketika keadaan masih berbeda dengan masa kini dan kita manusia masih berhubungan langsung dengan para dewata.

Hingga kini versi lengkap siklus La Galigo belum ditemukan. Dari naskah-naskah yang masih ada, banyak diantaranya hanya berisi penggalang penggalang cerita yang dimulai dan diakhiri secara tiba-tiba, atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dengan episode yang kadang-kadang tidak berhubung.

Siklus La Galigo jelas bukan karya seorang pengarang saja, banyak episode dari cerita laga Lego yang memiliki sejumlah variasi berbeda. Bukan sekedar variasi biasa, dan tidak mungkin berasal dari naskah induk yang sama. Mungkin, siklus La Galigo telah melalui proses penyusunan secara bertahap sebelum pada akhirnya menjadi sebuah karya besar. Mula-mula, hanya garis besar latar dan jalan cerita saja yang diceritakan, termasuk silsilah para tokoh utamanya. Setelah itu, para penyair berikutnya dari waktu ke waktu menambahkan berbagai episode baru dengan menggunakan gaya bahasa yang sama, disesuaikan dengan episode-episode yang telah ada sebelumnya.

Seorang ilmuwan Belanda, R.A. Kern yang telah menerbitkan katalog lengkap mengenai seluruh naskah La Galigo yang kini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan perpustakaan Matthes di Makassar. Dari 113 naskah yang ada, yang terdiri atas 31.500, R.A. Kern menyaring dan membuat ringkasan setebal 1356 halaman yang merinci ratusan tokoh yang terdapat dalam seluruh cerita. 

Suatu perkembangan Baru adalah permulaan penerbitan edisi Bugis-Indonesia naskah La Galigo yang terpanjang itu dikarang pada abad ke-19 atas tanggung jawab seorang perempuan raja Bugis bernama I colli' Puji-e' Arung Tanete. Naskah tebal 2850 halaman folio tersebut diperkirakan mengandung sepertiga dari pokok cerita seluruhnya. Dari 12 jilid yang akan diterbitkan, dua jilid sudah terbit, masing-masing pada 1995 dan 2000.

Kebanyakan ilmuwan barat dewasa ini memandang seluruh siklus La Galigo sebagai mitos belaka. Mereka menafikan kemungkinan untuk memanfaatkan teks itu sebagai sumber informasi yang layak, guna memperoleh gambaran tentang peradaban Bugis.

Memang benar bahwa teks tersebut penuh dengan unsur-unsur mitos dan bumbu-bumbu lain sebagaimana galibnya sebuah karya epos. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa latar cerita La Galigo bukanlah Negeri khayalan. Tempat-tempat yang digambarkan dalam teks tersebut justru mengacu pada lingkaran geografis yang dapat diketahui oleh pendengar pertama cerita dari pengalaman langsung mereka.

Ya udahlah Galigo diperkirakan berlangsung pada periode abad ke-11 dan ke-13 Masehi. Sedangkan masa kerajaan sejarah baru mulai benar-benar muncul pada periode akhir abad ke-14 dan 15 Masehi.

Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam sure' Galigo sendiri sering disebut bukan penulisan atau pembacaan naskah melainkan pengiriman pesan penting berupa surat emas (sure' ulaweng) dari seorang tokoh ke tokoh lain. 

Pada zaman La Galigo, Bissu dapat dikatakan memiliki posisi di luar sistem kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta, dukun, serta penyelenggara ritual. Bisu merupakan penghubung antara umat manusia dengan dunia Dewata, serta memiliki pasangan mistis dari makhluk khayangan.

Di sisi lain mitos La Galigo dijadikan model untuk kepentingan politik dan sosial, sehingga memberikannya hak eksklusif berupa kekuasaan politik serta membedakannya dari masyarakat biasa. Inilah sebabnya mitos tersebut mampu bertahan, hingga masuknya Islam bahkan hingga abad ke-20 dan masih dipercayai kebenarannya oleh sebagian orang Bugis hingga kini.

Komentar

Postingan Populer